Beda tapi Mesra. Itulah tema yang diusung dalam acara yang diselenggarakan di pondok pesantren Sunan Drajat (16/12/2017). Perbedaan bukanlah menjadi penghalang untuk saling mengenal dan saling mengasihi satu sama lain. Terbukti pada acara yang dihadiri berbagai tokoh lintas agama. Silaturrahmi ini hanya mempunyai satu tujuan yakni menghadirkan kedamaian dan tradisi toleransi di Indonesia melihat beragamnya budaya dan agama yang ada di Indonesia mulai dari suku, agama, adat, dan ras. kedatangan berbagai tokoh ini disambut hangat oleh keluarga besar di pondok pesantren Sunan drajat. Dengan suguhan berbagai rangkaian acara yang berlangsung dengan khidmad dan lancar tentunya.
Forum Beda tapi Mesra ini merupakan suatu komunitaas perkumpulan beberapa agama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Aliran Sapta Darma, dan lain sebagainya. Dalam komunitas tersebut mereka selalu membuat pertemuan rutin satu minggu sekali yang mana dalam forum tersebut mengedepankan rasa kekeluargaan dan saling sharing anggota kepada para anggota, acara tersebut sudah berlangsung sejak Jumat kemarin yang diawali menuju ke Islamic Center dan berakhir di bumi damai pondok pesantren Sunan Drajat. Perdamaian adalah obat bagi setiap umat, banyak sekali perbedaan yang kita temui di dunia ini seperti suku bangsa juga bahasa, tapi itu tak bisa menjadi alasan munculnya perpecahan antar umat beragama, termasuk acara ini yang menimbulkan banyak pendapat termasuk salah satu anggota “Forum Beda tapi Mesra” yang merasakan indah nya perbedaan, contohnya dalam Islam sebagai agama yang penuh penuh kasih sayang. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Suswani salah satu anggota “Forum Beda tapi Mesra” bahwa Islam itu damai, ramah juga penuh kasih sayang. Kilas cerita tentang kedatangan beliau di sini berawal dari mimpi bertemu Waliyullah, dan beliau pun langsung terketuk hatinya untuk mengikuti wisata religi. Dalam perjalanan religinya beliau juga berkunjung ke makam Sunan Maulana Malik Ibrahim, beliau di sana bingung dengan cara berdoanya karena tidak seperti agama yang dipercayainya, setelah itu beliau bertanya pada orang yang duduk di sebelahnya lalu orang tersebut menjawab “Bacalah surat Al-Fatihah “, kemudian ibu Siswnani tersebut membaca arti dari bacaan surat Al-Fatihah
Serangkaian acara yang di selenggarakan di bumi damai pondok pesantren Sunan Drajat tersebut yakni pembacaan ayat suci al-Quran, sambutan-sambutan dan ditutup dengan do’a
Sambutan pertama perwakilan tokoh dari Budha yakni bapak Edi Tarmidzi. Budha memang terkenal dengan kedamaiannya . “Budayakan senyum bukan manyun, apalagi Santri harus selalu tersenyum” ungkap Bapak Edi Tarmidzi di tengah sambutannya. Beliau sangat bahagia bisa hadir di tengah-tengah ponpes Sunan Drajat, menurut beliau dari awal penyambutan sudah terasa keramah-tamahannya, sangat berbeda dengan biasanya, karena dari awal kedatangan rombongan sudah disambut dengan barongsai, dan iring-iringan dari Santri se-yayasan pondok pesantren Sunan Drajat.
Sambutan kedua dari bapak Budi Santosa, beliau menerangkan sesuai dengan apa yang ada dalam cita-cita K.H. Abdul Ghofur, sudah sekitar 17 tahun beliau ikut membantu di pondok pesantren Sunan Drajat, beliau yang membantu perindustrian di pondok pesantren Sunan Drajat, beliau juga mengatakan bahwasanaya Santri berpotensi besar bagi bangsa Indonesia terlebih dalam hal penyebar kedamaian antar umat beragama yang disatukan oleh Pancasila.
Sambutan terakhir oleh Prof. Dr. K.H. Abdul Ghofur yang mengatakan bahwa beliau sangat senang dengan kehadiran para ahli agaman di pondok pesantren Sunan Drajat, beliau juga menerangkan berbagai aset pesantren dan juga sejarahnya.
Para pemuka dari masing-masing agama telah memerima sorban hijau sebagai tanda telah menjadi keluarga besar di pondok pesantren Sunan Drajat yang langsung diberikan oleh K.H. Abdul Ghofur kepada, KH. Ahmad Suyanto (Islam), Pendeta Robert (Kristen), Edi Tarmidzi (Budha), Lien (Kong Hu Cu), Mardikim (Aliran Sapta Darma), Susatyo (Hindu). Beliaulah perwakilan dari setiap agama yang menerima simbolis kekeluargaan di pondok pesantren Sunan Drajat.
By: Redaksi Majalah Menara