Beranda Berita Melepas Cinta Sang Penyiar Tampan

Melepas Cinta Sang Penyiar Tampan

412
0
Melepas Cinta Sang Penyiar Tampan
Melepas Cinta Sang Penyiar Tampan

Melepas Cinta Sang Penyiar Tampan

Oleh: Dy_ penyuka pagi

 

Nita. Itulah panggilan akrabku. Nama lengkapku Nita Anindya. Aku mahasiswi jurusan Ekonomi Syari’ah di sebuah Universitas di Pondok Pesantren Jawa Barat. Asalku dari Babado, daerah pegunungan dan pelosok yang jauh dari perkotaan. Ini adalah tahun pertamaku berada di Pesantren baru. Beradaptasi dengan teman-teman baru. Ya walaupum ini bukan pengalaman pertama aku menjalani predikat sebagai seorang santri. Karena sebelum ini, tepatnya ketika menginjak bangku SMA pun aku telah tinggal di Pesantren.

Aku termasuk tipe anak yang sangat pendiam. Jarang ikut ngobrol dengan teman-teman. Walaupun aku sering ikut mereka kumpul-kumpul, tapi aku lebih memilih menjadi pendengar setia. Memang aku terkesan pasif jika bergaul. Tapi jangan salah, keadaan itu akan berbanding terbalik ketika kegiatan belajar mengajar di mulai. Umumnya mahasisiwa yang sering mengadakan persentasi di kelas, hampir tiap pertemuan aku selalu menjadi mahasiswa yang aktif bertanya dan mengemukakan ide-ide atau sanggahan jika ada sesuatu hal yang tak sesuai dengan pemikiranku. Tak heran banyak teman yang kagum padaku dan tak sedikit kaum adam yang menaruh hati.

Tapi, karena sikapku yang terkesan cuek dan pendiam dalam pergaulan, maka mereka yang sudah terlanjur jatuh hati, harus rela memendam perasaannya dan tak diungkapkan. Jangankan menjadi kekasihku, menjadi teman dekatku pun mereka sudah senang. Itu yang pernah aku dengar dari Violin teman sebangkuku yang menceritakan isi hati salah satu teman cowok di kelas. Tak jarang, beberapa dari mereka memberikanku hadiah-hadiah kecil ketika ulang tahunku. Ada juga yang mengirimiku makanan dan diantarnya langsung di asrama putri tanpa aku minta.

Hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru untukku. Pengalaman seperti itu pernah juga aku rasakan ketika memasuki bangku SMA. Di sekolah dulu aku malah lebih pendiam lagi, berkumpul dengan teman saja jarang. Berangkat, duduk di kelas, mengikuti pelajaran, istirahat juga masih di kelas sekedar baca buku, mengerjakan soal, hal itu berlangsung hingga kegiatan belajar mengajar selesai.

Semua itu terbayar dengan aku istiqomah mendapat peringkat satu di kelas favorit. Hal tersebut tak terlewatkan dari perhatian ketua osis yang satu kelas denganku. Diam-diam ternyata dia menaruh hati. Walaupun tak terungkap juga. Sering kita tak sengaja bertatapan ketika dia berada di luar ruang osis, yang jaraknya tak jauh dari kelas. Aku sendiri yang saat itu tempat dudukku persis  di bangku nomor satu dekat pintu.

Maka, tak jarang mata kita tak sengaja saling beradu pandang. Awalnya aku mengira itu suatu kebetulan. Sampai aku tau ternyata dia ada perasaan lebih terhadapku. Aku pun baru mengetahui dari teman seasrama, yang mana ia lah yang menjadi tempat curhat si ketua osis.

“ Zainy tu sebenarnya sukanya sama kamu, tapi kamunya terlalu pendiam banget sih, makanya dia nggak berani buat ngungkapin perasaannya. Coba deh, kamu nggak pendiem-pendiem amat. Jadi cewek itu harus cerewet, aktif. Biar gampang dapat pacar. Liat kan gara-gara kamu cupu, batal kan kamunya jadi bu Presiden”

Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Masak iya kalau kita pendiam bakal nggak ada yang mau jadiin kita pacar? Ah nggak apa lah malah bagus. Kita akan dijaga oleh Tuhan karena kita juga menjaga diri. Bukankah itu suatu keberuntungan? Lagian aku juga nggak ingin pacaran. Masih kecil. Begitu pemikiranku dulu.

            Dan ternyata pertahanan itu jebol, ketika aku menginjak di bangku kuliah. Ada salah satu teman kuliah yang mendekatiku. Seorang penyiar radio pesantren. Umumnya seorang penyiar yang supel dan mudah bergaul. Jurus itupun juga yang digunakan ketika mendekatiku. Kita bertemu ketika ada acara pertemuan Organisasi Daerah yang ada di Pondok. Kebetulan kita berasal dari daerah yang sama.

            Tak berapa lama dari obrolan tersebut, ia mendapatkan nomer telphonku entah dari mana. Aku yang terkesan cuek,  juga tak menanggapi nomor baru yang sms tanpa menunjukkan identitas. Sampai akhirnya, sekitar jam satu dini hari ia menghubungiku. Aku ketika itu sedang terlelap tidur, langsung mengangkat gadget tanpa melihat siapa yang menelphon.

            “Assalamualaikum”

            “Waalaikum salam. Alhamdulillah, akhirnya diangkat juga”

            Aku yang awalnya masih ngantuk. Sadar seketika ketika mengenali suara cowok disebrang sana. Tanpa salam langsung ku tutup telphone tersebut, dan ku silent gadgetku.  Pagi harinya terlihat beberapa pesan dan panggilan tak terjawab menghiasi layar.

            Hari-hari berjalan normal seperti biasa. Aktifitas menjadi Mahasantri juga masih lancar dengan baik. Eza, cowok yang beberapa hari ini mendekatiku, tak bosan-bosannya aktif menghubungi. Sebagai cewek normal, yang dikenal makhluk halus, gampang baper dan lebih sering mengedepankan perasaan. Lama-lama aku pun merasakan hal yang banyak dikatakan orang bernama cinta.

Perasaan tersebut diperkuat dengan banyaknya cewek, baik adik kelas dan teman-temanku yang ngefans dengannya. Maklum selain ia penyiar radio, terkenal dikalangan pesantren, ia pun juga memiliki wajah yang tampan. Melihat fakta tersebut, aku tak ingin menyia-nyiakannya. Maka ketika ia mengatakan cinta untuk ke tiga kalinya, langsung saja aku menerimanya. Dan jadilah kita sepasang kekasih.

Banyak teman-teman tak menyangka dengan kejadian ini. “Kok bisa?”, “Bagaimana caranya?” dan entah pertanyaan apa lagi yang banyak ditujukan mereka padaku. Mungkin melihat sikap cuekku dulu, tak menyangka kalau aku ternyata juga terjerat dengan virus yang namanya pacaran.

Dan inilah kesalahan paling bodoh yang pernah ku lakukan. Aku yang dulunya mahasisiwi yang aktif di kelas menjadi mahasiswi yang aktif bergadget ria. Chatingan tak henti-hentinya dengan Eza.

“Ceile, yang baru jadian, senyum-senyum sama handphone terus dari tadi” ledek Violin, yang merasa terabaikan belakangan ini.

“Ssssst! Jangan keras-keras dimarahi pak dosen nanti” kataku sambil meletakkan telunjukku dibibir dan kembali asyik dengan kotak kecil elektronik di tanganku.

“Huuu, namanya juga pengantin baru. Puas-puasin deh sana. Dasar orang kasmaran”

Aku tak menanggapi. Buat apa? Ada yang lebih asyik ditanggapi dari pada kata-katanya.

Beberapa bulan selanjutnya. Ujian pun dilaksanakan. Aku kelimpungan mengerjakan soal, jangankan bisa menjawab pertanyaan. Membacanya saja seperti baru pertama kali. istilah-istilah asing itu aku benar-benar tak tau. Mungkin ini akibat beberapa minggu terakhir, tak  pernah kuperhatikan mata kuliah dan penjelasan dosen.

Bisa ditebak, ketika KHS dibagikan nilaiku benar-benar turun drastis. Nilai A+ yang biasanya mayoritas menghiasi KHSku, sekarang entah hilang kemana, terlihat hanya segelintir. Bahkan ada penghuni baru yang nangkring dengan santai. Meskipun hanya satu nilai C+, tapi itu cukup membuatku menyesal dan sedih berkepanjangan. Hal tersebut, tak elak dari sorotan Dosen ketua Prodiku.

“Nita! apa ada masalah belakangan ini? Bapak lihat kok nilai-nilaimu semakin anjlok saja”

“Oh, tidak Pak. Itu kesalahan saya, mungkin saya yang kurang belajar”

“Ya, sayang sekali. Moga ini menjadi yang terakhir ya. Bapak tunggu kamu yang dulu kembali lagi. Oh tidak. Kamu yang lebih baik dari dulu, dan sekarang! Selamat belajar dan berjuang!”

“Iya pak, insya Allah” jawabku lesu.

“Ah, apa itu? kurang semangat”

“Siap Bos! Insya Allah saya akan memberikan paling baik dan lebih baik dari yang saya bisa”

“Nah, gitu donk. Itu baru mahasiswa Bapak. Oke Bapak dukung kamu selalu ya”

“Terima kasih, Pak”

Beliau pun meninggalkanku yang sedang berpikir apa yang akan kulalukan selanjutnya?

Di sepertiga malam aku terbangun. Memulai aktifitasku, yang belakangan ini terlupakan. Aku bermunajat kepada Sang Kholik, lama bersujud kepada-Nya. Memohon ampun atas segala kesalahan, keteledoran dan dosa yang telah ku lakukan.

Teringat Ayah dan Ibu di rumah, yang sedang berjuang untuk buah hatinya. Bukankah janjiku ingin menjadi wanita sholihah dan cerdas yang bisa membanggakan mereka berdua? Aku tak ingin membuat mereka meneteskan air mata. Bukan emas dan permata sebagai bentuk balas jasa. Sederhana saja, menjadi mar’atus sholihah yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Mengapa aku lupa waktu mereka mengantarkanku ke sini? Mereka pulang lalu bercerita kepada siapa saja bahwa anak mereka sekarang kuliah di kota dan menjadi calon sarjana.

Mereka lalu menjual apapun yang ada. Mereka mulai menghemat uang belanja. Tetap bekerja walaupun hujan dan panas yang mereka rasakan. Mencoba tetap tersenyum walaupun hidup dalam kekurangan. Dan inilah salah satu hal yang memotivasiku untuk berhijrah. Penyesalan. Ada ribuan penyesalan yang tengah ku rasakan. Mengapa begitu bodohnya aku yang telah menyia-nyiakan kehidupan yang begitu banyak maknanya. Jutaan detik terlalui percuma karena maksiat. Ribuan partikel otak terabaikan kosong dengan kebodohan. Sadarlah aku, bahwa selama ini Tuhan telah memberikan banyak sekali orang-orang yang mencintai dan selalu ada untukku, namun ku sia-siakan begitu saja.

Cinta tak pernah salah. Jatuh cinta juga bukan dosa. Namun caraku yang mengeksperisakan cinta itu yang salah. Hari selanjutnya aku pun memutuskan hubungan berdosa tersebut. Pada mulanya ia merasa keberatan, tapi akhirnya, ia pun bisa menerima dengan hati lapang. Bukankah di luar sana masih banyak gadis yang menginginkannya bukan? Aku yakin ia juga akan mendapatkan penggantiku yang lebih baik.

Melepaskan sesuatu memang lebih cepat dari pada memilikinya. Tidak lebih dari setengah tahun hubungan kami berhenti di tengah jalan. Sulit memang awalnya, karena setan tak pernah kehabisan cara membujuk manusia untuk menjadi pengikutnya. Tapi, semua itu akan teratasi kalau kita memiliki niat dan tekad yang kuat untuk berubah dan mengharap ridho Allah. Keimanan harus dikokohkan. Belajar adalah salah satu cara agar bisa meningkatkan kualitas iman dan merawatnya supaya tidak ternoda dengan bujuk rayu setan. Perbaiki hubungan dengan Allah, maka Allah akan perbaiki urusan dunia dan akhirat kita.

Teringat pesan Imam Ghozali “ Orang-orang yang menganggur adalah manusia yang mati. Ibarat pohon tanpa buah. Para penganggur itu adalah manusia-manusia yang wujudnya menghabiskan keberkahan”. Maka akupun mulai disibukkan kembali dengan berbagai kegiatan kampus dan pesantren. Sebisa mungkin ku gunakan waktuku dengan sebaik-baiknya. Agar tak ada ruang untuk mengingat kesedihan akibat putus hubungan beberapa waktu lalu. Ingin move on, maka harus move away. Ketika sedang sibuk membuat makalah. Tiba-tiba handphoneku berbunyi.

“Hey you! I miss you”

Ku abaiakan. Beberapa menit kemudian ada pesan lagi menyusul dibelakangnya

“Doa doa dan doa

Menjadi kata-kata yang terindah dalam hidupku

Memisahkan satu dari dua yang dilema

Dan menjadi jurang harapan bagiku

Yang selalu bodoh berharap memilikimu

Untuk yang ke dua kalinya dalam hidupku

Jika dalamnya laut masa lalu

Hanya menemukan pekat dalam hitam

Maka, di dalam laut itu pun

Aku meraba ke dua kalinya

Mungkin saja masih ada mutiara”

            Aku menghela nafas. Ku ketikkan beberapa kata balasan untukknya. Berharap setelah ini ia tak akan menghubungiku lagi dengan kata-kata yang bisa menggoyahkan niat hijrahku.

            “Menjauh tanda menjaga hati. Mendekat ketika hati sudah siap! Jomblo bermartabat, merit bermanfaat. No khalwat before akad!”

            Keberanian berhijrah akan mendatangkan keberanian-keberanian lainnya. Keberanian untuk kehilangan dan keberanian untuk menemukan. Aku kehilanganmu karena Allah, Insya Allah entah kamu atau siapa saja nanti yang datang, itu juga akan digerakkan oleh Allah. Tugasku hanya melakukan segala sesuatu dengan aturan-aturan yang telah ditetapkannya. Kalau hidup sesuai dengan aturan. Insya Allah, Tuhan juga akan mengatur kita dengan sebaik-baik peraturan.