Aku menatap bangga kepada sosok yang berdiri di atas panggung yang megah dengan disaksikan beratus pasang mata. Zaky Hafidz Ramadhani. Pemuda berusia dua puluh tiga tahun tersebut, telah menyandang gelar Strata satunya. Sarjana berprestasi dengan nilai terbaik seangkatannya. Nyaris sempurna nilai untuk segala mata kuliahnya. Deretan huruf A berjejer tersenyum di ijazahnya.
Pemuda berparas tampan, kulit putih bersih, badan tegap berisi, selalu saja membuatku bangga menjadi ibunya. Ya, dia adalah anak pertamaku.
Tidak hanya Zaky buah permata hatiku. Masih ada Ara Anastasya Nabila, gadis lincah dan supel yang kini menuntut ilmu di Madrasah Aliyah Negri (MAN) di salah satu pondok pesantren modern yang ada di Jawa Timur. Seperti Abang dan Ayahnya, ia pun memiliki paras dan otak yang tak bisa dipandang sebelah mata. Kembali membuatku berkali-kali mengucapkan syukur atas karunia Tuhan yang telah diberikannya keluarga kecil bahagia ini.
Bukan keberuntungan yang hanya kebetulan aku bisa mendapatkan ini semua. Mengingat betapa berat dan banyaknya pengorbanan, ikhtiar, usaha dan doa yang telah dilakukan. Itu semua dimulai dari diriku sendiri.
Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, pasti mendambakan pasangan hidupnya kelak adalah orang baik. Orang secara moral dan akhlak adalah orang yang baik dan bertanggungjawab. Akupun juga memiliki cita-cita mulia itu. Ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Maka akupun mulai memperbaiki diri sendiri dengan terus melakukan proses perbaikan diri.
Bukankah Allah juga telah menjelaskan dalam kitabnya bahwa perempuan baik untuk laki-laki yang baik, begitupun sebaliknya, perempuan keji untuk laki-laki keji pula. Dan aku tidak menginginkan menjadi yang terakhir itu. Sejak saat itu aku berfikir bahwa jodoh kita berarti cerminan diri kita sendiri.
Karena terlahir dari keluarga yang memegang teguh nilai keagamaan. Maka, sejak menginjakkan kaki di bangku SMA mereka telah memasukkanku di pondok pesantren. Awalnya aku mengira bahwa hanya tiga tahun mereka akan menempatkanku di penjara suci. Tapi ternyata tidak, Diri sendiri berencana, orangtua memaksa dan Tuhan pun berkuasa. Allah selalu punya rencana terbaik dibalik semua rencana terbaik yang kita miliki.
Masuk kuliahpun aku harus masih tinggal di Pesantren lagi.
“Pengen jadi apa? Kuliah dimana aja sama, negeri atau enggak. Kalau Ayah saranin sebaiknya kamu ini kuliah di pesantren lagi, selain dapat ijasah negeri kamu juga bisa ngaji. Lihat! sekarang banyak sarjana lulusan dari Universitas terkenal pengangguran, ayah lebih senang kalau punya anak yang berakhlak dari pada yang lebih mengandalkan nilai akademisnya, tapi kalo dipesantren kamu akan memperoleh kedua-duanya, selain itu kamu jadi santri ngabdi sama kyai itu barokahnya besar, pahalanya besar,” ceramah ayah ketika ku utarakan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi impianku
Well, setelah tujuh tahun lamanya aku tinggal di pesantren. Tiba saatnya aku wisuda Sarjana Strata satu. Tiba-tiba hidayah Tuhan datang tak disangka-sangka. Terbersit dalam hati keinginan untuk menghafalkan kalamullah yang terdiri dari 114 surat dan 6236 ayat tersebut. Muncul keraguan apa aku bisa diusia yang menginjak hampir seperempat abad untuk menghafalkan Qur’an?
Segala keraguanku hilang ketika Ibu menguatkan dan meyakinkan
“Nak, mencari ilmu tidak terbatas usia. Sejak dalam buaian Ibu hingga liang lahat kita masih diwajibkan menuntut ilmu”.
Semua kepercayaan diriku muncul. Akhirnya aku optimis melangkah maju. Nothing is impossible in this world. Dalam waktu kurang dari dua tahun aku telah khatam. Fantastis. Gelar hafidhoh telah ku sandang.
Tak disangka Ayah telah menyiapkan calon pendamping untukku. Siapa lelaki tersebut, apakah aku mencintainya? oh itu tak penting buatku, yang lebih penting apakah ia mencintaiku? apakah aku bisa membahagiakannya kelak dengan menjadi istrinya. Entahlah dari awal aku telah meniatkan diri ini birrul walidain. Kupasrahkan semua pada orang tuaku terlebih pada Dia sang pemilik kehidupan.
Tanpa proses ta’aruf bahkan pacaran aku langsung menyetujuinya. Proses khitbah pun aku tak ambil pusing. Ketika sang pemuda datang ke rumah, dan seperti kebanyakan yang lain, si calon dari pihak putri diminta menyuguhkan minuman kepada tamu. Itu juga yang kulakukan, tanpa mengangkat kepala dan tak berniat melihat langsung sosok yang mendampingiku nantinya.
Aku hanya menundukkan pandangan. Terdengar sesekali Ayah menyebut namaku disertai embel-embel prestasi dan potensi yang kumiliki.
“Promosi” batinku nakal.
Satu bulan setelah khitbah, acara pernikahan digelar. Ternyata dibalik ketidak tahuan kita,Allah telah menyiapkan kejutan. Seorang dokter dan putra dari Kyai salah satu pesantren terkenallah suamiku. Oh Tuhan! Terlalu rendah diri ini jika dibandingkan dengannya. Aku terlalu kerdil untuk menjadi bagian dalam hidupnya. Nyaliku menciut tak mampu menandinginya.
“Allah tak pernah salah, dia memang diciptakan untuk menjadi pasanganmu”
Ratna sahabat karibku menenangkan, ketika aku bercerita perihal manusia yang nyaris perfect pendamping hidupku.
“Tapi, aku tak sesempurna dia” balasku sedih
“Hai! Siapa bilang? kau hafidzoh, berprestasi. Bahkan aku sendiri tak pernah bisa mengambil alih peringkat satu darimu. Kau juga telah lama mengenyam pendidikan di pesantren. Dikurung layaknya tahanan, tak tau dunia luar, tak pernah kemana-mana. Pulang hanya setahun satu kali, bertepatan hari raya. Itupun juga nggak lama, cuma satu minggu kau dirumah. Tidak heran kau tidak punya waktu bermain-main dengan temanmu masa kecil ini. Tapi tak apalah, dengan itu kau beruntung, terjaga, suci.”
“Ratna, kamu terlalau berlebihan menilaiku. Aku tak sebaik itu.”
Tak disangka ia malah lebih bersemangat merespon ucapanku dibanding tadi
“ Aku tidak berlebihan, aku bicara fakta, aku jadi menyesal dulu sering meledekmu gara-gara dipondok terus sampai nggak nikah-nikah. Padahal teman kita banyak yang udah nggendong, nggandeng apa agi. Tapi kamu? jangankan mikir nikah, mikir suka cowok aja kayaknya kamu juga gak pernah. Yang kamu pikirin, cuma kitab, Qur’an, ngaji dan ngaji. Pantas aja kamu dapat suami berkelas tinggi.”
“Usia remajamu pun kau gunakan dengan baik. Ketika teman-teman bersenang-senang merasakan gemerlapnya dunia luar. Kamu sebaliknya, terkurung dalam pesantren, istiqomah berusaha menjadi wanita sholihah. Kalau gadget tak pernah lepas dari tangan mereka, sedangkan kamu? tak pernah sekalipun aku melihat tanganmu kosong dari buku-buku pengetahuan, kitab dan Al-Qur’an. Kau pantas mendapatkan ini semua ‘Aini. Hasil seseorang berbanding lurus dengan usahanya. Itukan yang sering kamu katakan untuk memompa semangatku ketika aku putus asa dan ingin menyudahi impianku”.
Ratna tak salah. Tapi aku juga takut membenarkan statementnya bahwa aku sebanding dengan Pak dokter itu. Udahlah anggap saja iya. Toh, sebelum ini aku memang berusaha memperbaiki diri, menunda kesenangan-kesenagan kecil agar nantinya mendapat kesenangan yang lebih besar. Kita di dunia hanya mampir, masih ada kehidupan hakiki yang menanti kita. Ibaratnya didunia ini hanya istirahat sebentar, kita harus masih melanjutkan perjalanan sampai ke akhirat. Dan seperti perjalanan pada umumnya kita diberi bekal yang membantu kita selama perjalanan. Begitupun Allah memberikan bekal umur kepada kita. Tapi itu semua kembali kepada kita. Apakah bisa memanfaatkan bekal itu dengan baik atau malah menyia-nyiakannya dengan melakukuan hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali.
Zafran Bahtiar Saifullah adalah salah satu hadiah dan teman perjalanan yang dikirimkan Allah atas segala yang telah kulakukan. Semoga dengan dihadirkan Zafran menemaniku. Kita bersama bisa lebih matang dan lebih banyak mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya.
Tak hanya cerdas dan bernasab baik, akhlaknya pun tak kalah bagus dengan wajahnya. Walau dia tak hafal seluruh dari isi Al-Qur’an, tapi ia selalu membantu dan mengingatkan untuk menjaga hafalanku. Maka nikmat tuhan mana lagi yang kamu dustakan?
Ba’da shubuh merupakan kegiatan rutin ia menyimak hafalan Qur’anku. Setelah itu tak lupa aku menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, menyiapakan segala keperluannya sebelum berangkat praktek ke rumah sakit. Masa-masa kehamilankupun ia dengan ikhlas menjalani puasa rutin senin kamis selama sembilan bulan untuk buah hati kita tercinta. Sebagai bentuk ikhtiar agar bayi yang kukandung menjadi generasi sholih-sholihah nantinya.
Dua kali masa kehamilan, dua kali pula ia melakukan hal yang sama. Akhirnya bulan Ramadhan tepat perayaan Nuzulul Qur’an, dimana pada waktu itu pertama kalinya Allah menurunkan kitab suci kepada Rasulullah, menjadi pertama kali pula Allah menurunkan bayi mungil untukku.
Tangis bahagia keluar begitu saja dari kedua pelupuk mata suamiku. Mas Zafran mengadzani sang buah hati dengan khusu’ hingga menyihir semua yang mendengarnya larut dalam suasana haru dan bahagia.
Karena kita menginginkan menjadi keluarga Ahli Qur’an. Maka sejak masa kehamilan hingga saat ia telah terlahir, sering aku mengajaknya mengaji, ku biasakan memperdengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sebisa mungkin aku singkirkan musik-musik atau bacaan-bacaan non islami yang bisa mengganggu kecerdasannya.
Di usianya yang belum genap dua tahun telah aku kenalkan huruf-huruf hijiyah untuk dipelajari. Kini tugasku bertambah, sehabis maghrib menjadi rutinitasku untuk mendidik Zaky kecil mengaji. Yang sebelum kelahirannya waktu tersebut aku gunakan untuk mengajari santriwati. Tapi, aktivitas itu juga tidak hilang, hanya diganti saja waktunya sehabis Isya’ sebelum mereka berangkat ngaji kitab.
Dan alhamdulillah, di usianya yang belum genap lima tahun ia telah mengkhatamkan tiga puluh juz Al-Qur’an dan hafal hampir setengah dari isi Al-Qur’an. Sesuai dengan rencana, aku akan mengirimnya di pesantren khusus Tahfidzul Qur’an anak-anak yang ada di Kudus Jawa Tengah.
Diusianya yang baru menginjak kelas satu SD aku harus rela melepasnya. Ibu mana yang tega melepaskan buah hatinya begitu saja, apalagi diusianya yang masih sangat kecil. Beruntung aku memiliki Mas Zafran, dia selalu punya cara untuk menghibur istrinya.
“Jika kita menginginkan sesuatu, maka sudah pasti kita akan kehilangan sesuatu yang lain. Kita menginginkan anak kita menjadi anak yang luar biasa, maka tak apa kita relakan dia. Ini tidak untuk selamanya, Sayang, hanya beberapa tahun saja. Kita juga masih bisa menjenguknya.”
” Orang-orang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesukaran, tantangan dan air mata. Hidup di pesantren menjadi pilihan yang tepat untuk melatih anak-anak. Baik dari segi agama, pendidikan dan etika. Mungkin akarnya boleh dikatakan pahit tapi yakinlah nantinya kita tinggal menikmati buahnya yang manis.”
Tangisku reda, hatiku pun lapang melepas sang buah hati tercinta.
Alhamdulillah, kurang lebih enam tahun sudah, buah itu telah kita rasakan. Lulus SD jagoan kecilku telah mengkhatamkan firman Allah. Tak hanya itu, prestasi akademiknya patut dibanggakan. Karena seringnya ia mendapat peringkat pertama, maka kami kedua orang tua sampai tidak perlu memeriksa hasil raportnya.
Tidak berhenti sampai disitu. Setelah kelulusannya kami pun memasukkannya di pesantren modern, yang mengajarkan berbagai bahasa asing. Orang tua mana yang tak ingin anaknya tidak hanya cakap dalam ilmu agama, tapi juga menguasai ilmu umum dan ketrampilan lain.
Cara mendidik anak kedua pun, sama halnya dengan si sulung. Tak jauh beda dengan abangnya, ia juga dianugrahi segudang prestasi. Dan lagi-lagi aku merasa beruntung menjadi ibu dari anak-anak yang luar biasa. Istri dari suami yang sukses dan sholih. Tuhan….karuniamu begitu sempurna.
%$@!^$&*^&
“Aini! Yuuk berangkat ngaji!.” Seorang gadis seusiaku dengan berjilbab motif membuyarkan lamunanku.
“Oh, oke!.” Balasku sambil menutup buku dan pulpen. Berjalan beriringan meninggalkan asrama menuju mushola untuk ngaji kitab kepada Abah Yai pengasuh pondok yang kutempati sekarang.
Kalau burung bisa terbang dengan sayapnya, maka manusia bisa terbang dengan cita-citanya. Boleh dong mimpi itu setinggi langit. Biar kalau kita terjatuh, jatuhnya diantara bintang-bintang.
=======
Dy (sang pemimpi pecinta pagi)